Paper Kebijakan Ujian Nasional Departemen Pendidikan BEM Universitas Negeri Jakarta 2011
Posted by Ahmad Khairudin on April 18, 2013 with No comments
Paper Kebijakan Ujian
Nasional
Departemen Pendidikan
BEM Universitas Negeri Jakarta 2011
Oleh : Hafiz Farihi *
Pendahuluan
Kontroversi
dan silang pendapat tentang kebijakan Ujian Nasional hingga saat ini masih
terus berlangsung. Sebagian kalangan menilai bahwa Ujian Nasional perlu tetap
dipertahankan dengan model yang saat ini sedang berlaku. Kalangan lain
berpendapat bahwa kebijakan ini tidak sesuai dan harus dihapuskan dari sistem
pendidikan nasional. Sementara kalangan lain juga memiliki pendapat berbeda,
yaitu menolak Ujian Nasional sebagai penentu kelulusan, sementara fungsinya
yang lain masih boleh dipertahankan. Ketiga perbedaan pendapat tersebut
tentunya dilandasi oleh argumen yang diyakininya masing-masing.
Jika
kita melihat kembali sejarah perjalanan sistem pendidikan nasional khususnya
dalam hal evaluasi, Indonesia sebenarnya telah menerapkan teknik evaluasi yang
berganti-ganti dari masa ke masa. Pada tahun 1950-1960-an Indonesia menerapkan
Ujian Penghabisan. Tahun 1965-1971 menjadi Ujian Negara. Kemudian tahun
1972-1979 ujian dilaksanakan oleh sekolah masing-masing. Tahun 1980-2000
dilakukan Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional. Baru pada tahun 2001-2004
berlaku Ujian Akhir Nasional yang selanjutnya pada tahun 2005 berganti nama
menjadi Ujian Nasional.
Kebijakan
Ujian Nasional untuk tahun 2011 ini sedikit berbeda dengan tahun-tahun
sebelumnya. Tahun ini terdapat porsi 60-40. Maksudnya kelulusan peserta didik
ditentukan dari 60% nilai ujian nasional dikombinasikan dengan 40% nilai
sekolah. Nilai sekolah yaitu gabungan nilai ujian akhir sekolah dan nilai
rata-rata rapor dari semester 1-5 untuk SMP/MTs/SMPLB dan semester 3-5 untuk
siswa SMA/MA/SMK. Bobot untuk nilai sekolah adalah 60% nilai ujian sekolah dan
40% nilai rata-rata rapor. Perbedaan lain juga yaitu tidak adanya ujian ulangan
untuk tahun ini dan pemberlakuan 5 paket soal dalam satu ruangan.
Perlu
dipahami bahwa tujuan pemerintah melaksanakan ujian nasional antara lain untuk
mengukur pencapaian kompetensi lulusan peserta didik secara nasional pada mata
pelajaran tertentu dalam kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi
serta untuk memetakan tingkat pencapaian hasil belajar siswa pada tingkat
sekolah dan daerah. Sementara fungsinya adalah untuk meningkatkan mutu
pendidikan agar tercipta SDM yang mampu bersaing secara global.
Berdasarkan
uraian di atas, pertanyaan yang kemudian muncul adalah: (1) Apakah Ujian
Nasional sesuai dengan hakekat, fungsi, dan tujuan pendidikan menurut UU
Sisdiknas No. 20 Tahun 2003? Apakah ujian nasional mampu meningkatkan mutu
pendidikan? Bagaimanakah sikap BEM UNJ terhadap kebijakan ujian nasional?
Apakah rekomendasi BEM UNJ untuk memperbaiki pendidikan nasional dipandang dari
kebijakan ujian nasional?
Landasan
Kebijakan dan Fungsi Ujian Nasional
Di
dalam buku Tanya Jawab UN 2011 yang dibuat oleh Kementrian Pendidikan Nasional
dinyatakan bahwa landasan pelaksanaan kebijakan ujian nasional terdapat pada UU
No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 58 ayat (2)
tertulis “Evaluasi peserta didik, satuan pendidikan, dan program pendidikan
dilakukan oleh lembaga mandiri secara berkala, menyeluruh, transparan, dan
sistemik untuk menilai pencapaian standar nasional pendidikan”.
Ketentuan
di atas pada dasarnya bertentangan dengan pasal sebelumnya, yaitu pasal 58 ayat
(1) menyatakan “Evaluasi hasil belajar peserta didik dilakukan oleh pendidik
untuk memantau proses, kemajuan, dan perbaikan hasil belajar peserta didik
secara berkesinambungan.”
Dalam
ayat (1) sudah jelas dinyatakan bahwa evaluasi dilakukan oleh pendidik.
Pendidik yang dimaksud di sini adalah guru. Dan yang dievaluasi adalah hasil
belajar peserta didik. Artinya perkembangan peserta didik selama belajar
sekolah itu dinilai dan dievaluasi oleh gurunya sendiri yang mengajarnya di
kelas. Sementara pada ayat selanjutnya yakni ayat (2), yang dimaksud dengan
evaluasi peserta didik di sini bukanlah untuk menentukan lulus tidak lulusnya
peserta didik dari satuan pendidikan. Akan tetapi untuk menilai pencapaian
standar nasional pendidikan.
Landasan
lain yang dikemukakan oleh pemerintah dalam buku Tanya Jawab UN 2011 adalah
mengacu pada Peraturan Pemerintah No. 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional
Pendidikan. Pasal 63 ayat (1) tertulis:
Penilaian pendidikan pada jenjang pendidikan
dasar dan menengah terdiri atas:
a. penilaian hasil belajar oleh pendidik;
b. penilaian hasil belajar oleh satuan
pendidikan; dan
c. penilaian hasil belajar oleh Pemerintah.
Pasal
tersebut khususnya butir (c) menjadi dasar terkuat yang sangat jelas maknanya
sebagai landasan bagi pelaksanaan Ujian Nasional. Namun secara tingkatan
Undang-Undang berada di atas Peraturan Pemerintah. Oleh karena itu seharusnya
Peraturan Pemerintah adalah penjabaran dari Undang-Undang. Apabila terdapat
ketentuan-ketentuan dalam Peraturan Pemerintah yang bertolak belakang dengan
ketentuan Undanh-Undang maka yang harus dijadikan pedoman adalah Undang-Undang.
Karena
Undang-Undang Sisdiknas mengamanatkan bahwa evaluasai hasil belajar peserta
didik dilakukan oleh pendidik dan bukan oleh pemerintah maka tugas tersebut
merupakan hak mutlak dari seorang guru. Pemerintah tidak berhak mengevaluasi
hasil belajar peserta didik terlebih dalam menentukan kelulusan.
Pada PP No 19 tahun
2005 tentang SNP pasal 68 menyatakan bahwa:
Hasil Ujian Nasional
digunakan sebagai salah satu pertimbangan untuk:
·
pemetaan mutu program dan/atau satuan
pendidikan;
·
dasar seleksi masuk jenjang pendidikan
berikutnya;
·
penentuan kelulusan peserta didik dari
program dan/atau satuan pendidikan;
·
pembinaan dan pemberian bantuan kepada
satuan pendidikan dalam upaya untuk meningkatkan mutu pendidikan.
Berdasarkan
pasal inilah maka ujian nasional digunakan sebagai penentu kelulusan yang
tertera pada butir (c). Sementara patut kita kritisi apakah pemerintah telah
menjalankan butir-butir lainnya khususnya butir (a) dan (d)? Nampaknya belum
ada upaya yang dilakukan oleh pemerintah terhadap hasil ujian nasional. Hasil
ujian nasional dari tahun ke tahun belum bermakna bagi pemetaan dan pembinaan
serta pemberian bantuan. Apakah sudah ada langkah-langkah konkret yang
dilakukan terhadap sekolah-sekolah yang nilai ujiannya jauh di bawah standar?
Sementara
itu mengenai kelulusan peserta didik mengacu pada PP No. 19 tahun 2005 pasal 72
ayat (1) yang menyatakan:
Peserta didik dinyatakan lulus dari satuan
pendidikan pada pendidikan dasar dan menengah setelah:
a. menyelesaikan
seluruh program pembelajaran;
b. memperoleh
nilai minimal baik pada penilaian akhir untuk seluruh mata pelajaran yang
terdiri atas kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia, kelompok mata
pelajaran kewarganegaraan dan kepribadian, kelompok mata pelajaran estetika,
dan kelompok mata pelajaran jasmani, olah raga, dan kesehatan;
c. lulus
ujian sekolah untuk kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi;
d. dan lulus Ujian Nasional.
Butir (d) itulah yang juga menjadi dasar
mengapa ujian nasional digunakan sebagai penentu kelulusan.
Hakekat,
Fungsi dan Tujuan Pendidikan Nasional
Penyelenggaraan
sistem pendidikan di Indonesia semula didasarkan pada UU No. 4 tahun 1950 jo.
No. 12 tahun 1954. Kemudian diganti menjadi UU No. 2 tahun 1989 tentang Sistem
Pendidikan Nasional. Selanjutnya yang saat ini berlaku adalah UU No. 20 tahun
2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Dalam
UU Sisdiknas No. 20 tahun 2003, Pasal 1 ayat (1) tertulis “Pendidikan adalah
usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses
pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya
untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian,
kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya,
masyarakat, bangsa, dan negara.”
Terlihat jelas bahwa ketentuan tersebut
menekankan pentingnya mewujudkan suasana dan proses pembelajaran yang mendorong
peserta didik secara aktif mengembangankan potensi dirinya. Sementara suasana
dan proses pembelajaran yang demikian tidak dapat terwujud dengan berlakunya
sistem ujian nasional yang model pembelajarannya menekankan pada kemampuan
verbal untuk menjawab soal pilihan ganda. Ujian nasional malah mendorong proses
pembelajaran yang mengutamakan kegiatan mendengar, mencatat, dan menghafal
pengetahuan.
Berdasarkan
penelitian yang dilakukan oleh Benjamin Bloom dan juga Soedijarto di Amerika
Serikat ditemukan bahwa tingkah laku belajar peserta didik dipengaruhi oleh
perkiraan peserta didik terhadap apa yang akan diujikan. Oleh karena itu ujian
nasional yang umumnya menanyakan dimensi kognitif dari mata pelajaran akan
menyebabkan peserta didik dalam proses belajarnya tidak merasa perlu untuk
membaca novel, tidak merasa perlu untuk melakukan percobaan di laboratorium,
tidak merasa perlu untuk melakukan berbagai aktivitas belajar lainnya yang
bermanfaat bagi pengembangan potensi dirinya karena semua itu tidak akan
diujikan.
Dampak
lainnya dari kebijakan ujian nasional adalah guru akan membantu peserta didik
untuk menghadapi ujian dengan cara melatih peserta didik menjawab soal-soal
ujian. Sekolah dan pemerintah daerah akan berusaha agar siswanya banyak yang
lulus termasuk dengan cara-cara yang tidak etis semisal pembentukan “tim
sukses”. Hal ini terjadi karena menyangkut akreditasi dan citra sekolah serta
daerah yang berpengaruh terhadap pandangan masyarakat terhadap sekolah dan
daerah tersebut. Sekolah yang siswanya banyak yang tidak lulus akan dianggap
sebagai sekolah tidak bermutu sehingga tahun berikutnya masyarakat tidak mau
menyekolahkan anaknya ke sekolah tersebut.
Dampak-dampak
di atas sebagai akibat diterapkannya kebijakan ujian nasional tidak mungkin
mampu mewujudkan proses pembelajaran yang mengembangkan kekuatan spiritual
keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, dan keterampilan.
Mengenai
fungsi dan tujuan pendidikan nasional, UU No. 20 tahun 2003 pasal 3 menyatakan
“Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta
peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa,
bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang
beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat,
berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis
serta bertanggung jawab. “
Fungsi
pendidikan yang dikemukakan dalam UU Sisdiknas tersebut sesuai dengan empat
misi Negara yang tercantum dalam pembukaan UUD 1945 yaitu melindungi segenap
bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan
umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia.
Mengapa para pendiri republik menetapkan misi “mencerdaskan kehidupan bangsa”
sebagai salah satu misi penyelenggaraan negara?
Dengan
memahami latar belakang sejarah Indonesia sebelum kedatangan penjajah, yakni
setelah runtuhnya Majapahit pada abad ke-15, wilayah nusantara terpecah menjadi
puluhan kerajaan kecil yang selanjutnya dikuasai oleh penjajah sejak abad
ke-17. Kondisi Nusantara sejak saat itu sangat jauh tertinggal dalam hampir
semua dimensi kehidupan, baik ekonomi, politik, dan IPTEK oleh bangsa-bangsa
Eropa yang telah bangkit menjadi negara-negara industri sejak Renaissance. Oleh
karena itu tampaknya para pendiri republik terilhami oleh Otto von Bismark
(Jerman), Garibaldi (Italia), King Arthur (Inggris), dan Thomas Jefferson
(Amerika Serikat), bercita-cita membangun sebuah Negara yang cerdas
kehidupannya, yaitu masyarakat negara yang maju, modern, demokratis, dan
berkeadilan sosial. Dan tampaknya para pendiri republik pun berpegang kepada
paradigma yang dianut oleh negara-negara maju saat itu yakni “BUILD NATION
BUILD SCHOOL.”
Apabila
fungsi dan tujuan pendidikan seperti yang digariskan dalam ketentuan UU
Sisdiknas tersebut tercapai, Indonesia akan menjadi negara yang maju dan cerdas
kehidupannya. Namun Prof. Dr. Soedijarto, M.A. menyatakan bahwa ujian nasional
tidak akan dapat mewujudkan fungsi dan tujuan pendidikan tersebut karena ujian
nasional tidak dapat mengukur seberapa jauh perkembangan kemampuan dan watak
peserta didik. Dasarnya karena hal itu tidak akan tercapai melalui proses
pembelajaran yang mengutamakan belajar mencatat, mendengar, dan menghafal.
Mutu
Pendidikan dan Etos Kerja
Pemerintah
berpendapat bahwa Ujian Nasional mampu meningkatkan mutu pendidikan dan
meningkatkan etos kerja serta semangat belajar peserta didik. Dasarnya ujian
nasional yang secara statistik mengalami peningkatan nilai kelulusan dari tahun
ke tahun diartikan sebagai peningkatan mutu pendidikan. Apakah mutu bisa
diartikan sesempit dan sedangkal itu? Lalu semangat belajar peserta didik agar
dapat lulus ujian diartikan juga sebagai peningkatan etos kerja. Apakah hal-hal
yang menjadi akibat diterapkannya kebijakan ujian nasional benar mampu
menciptakan masyarakat yang beretos kerja tinggi? Yang terjadi di lapangan
justru maraknya kecurangan dan manipulasi nilai yang bukan saja tidak berlaku
valid untuk menyatakan peningkatan mutu bahkan telah terjadinya pada kondisi
seperti ini telah menyebabkan kemerosotan karakter.
Pendidikan
yang bermutu adalah pendidikan yang berhasil membentuk siswa yang cerdas,
berkarakter, bermoral, dan berkepribadian (pasal 1 ayat (1) UU Sisdiknas).
Untuk itu perlu dirancang satu sistem pendidikan yang mampu menciptakan suasana
dan proses pembelajaran yang mendorong siswa secara aktif mengembangkan dirinya
sesuai dengan bakat dan kemampuannya.
Selama
sarana prasarana tidak memadai, gaji guru kecil, kualitas pendidikan dan
pelatihan guru buruk, media belajar miskin, manajemen sekolah amburadul, dan
kurikulum tak tepat guna, apa yang bisa kita harapkan dari peningkatan mutu
pendidikan? Jika pemerintah tetap menekankan pada ketercapaian Standar
Kompetensi Lulusan tanpa mendorong secara maksimal pemenuhan ketujuh standar
lainnya (standar isi, standar proses, standar sarana prasarana, standar
pembiayaan, standar pengelolaan, standar penilaian, dan standar pendidik dan
tenaga kependidikan) usaha untuk meningkatkan kualitas pendidikan dan
menciptakan SDM yang mampu bersaing di dunia internasional tidak akan banyak
berarti.
Berdasarkan
laporan UNDP, Indeks Prestasi Manusia Indonesia tahun 2010 berada di peringkat
108 dari 169 negara di dunia. Peringkat ini berada di bawah negara-negara
tetangga lain seperti Malaysia yang berada di 57, China pada posisi 89,
Thailand di peringkat 92, dan Filipina di posisi 97. Studi ini menilai tingkat
ekonomi, kesehatan, dan pendidikan suatu negara. Artinya Indonesia masih dalam
keadaan miskin, sakit, dan bodoh.
Studi
PISA yang dilakukan oleh negara-negara OECD untuk menilai kemampuan membaca,
matematika, dan sains siswa menilai bahwa Indonesia berada di peringkat 10
terbawah dari 65 negara pada tahun 2009. Untuk kemampuan membaca Indonesia
berada di peringkat 57 dibawah Thailand yang berada di perngkat 50. Untuk
matematika Indonesia berada di peringkat 61 dan Thailand tetap di peringkat 50.
Untuk sains Indonesia mendapat peringkat 60 sementara Thailand di posisi 49.
Bedasarkan
data Depdiknas tahun 2007/2008 sebanyak 35% ruang kelas TK dalam keadaan rusak.
Di SD terdapat 48% ruang kelas rusak. Di SMP sebanyak 20% ruang kelas yang
ruasak. Sementara di SMA dan SMK 10% dinyatakan rusak. Untuk fasilitas
perpustakaan di SMP hanya memenuhi 23% dari seluruh SMP di Indonesia. Artinya
77% SMP tidak dilengkapi dengan perpustakaan. Laboratorium hanya 27% untuk
tingkat SMP. Artinya 73% SMP tidak memiliki laboratorium. Untuk SMA/SMK, baru
39% sekolah yang sudah dilengkapi perpustakaan sementara 61% belum mempunyai
perpustakaan. Laboratorium SMA/SMK hanya memenuhi 59% sehingga 41% SMA/SMK
tidak memiliki laboratorium. Data tersebut menunjukkan bahwa sarana dan
prasarana sekolah masih belum memadai.
Untuk
meningkatkan etos kerja marilah melihat pandangan guru besar emiretus UNJ Prof.
Dr. H . Soedijarto, M.A. Beliau berpendapat bahwa evaluasi yang terus-menerus,
komprehensif, dan obyektiflah yang berpengaruh untuk menjadikan sekolah sebagai
pusat pembudayaan berbagai kemampuan dan nilai, etos kerja, disiplin, jujur dan
cerdas, serta bermoral. Melalui model pembelajaran yang seperti inilah, yaitu
peserta didik setiap saat dinilai tingkah lakunya, kesungguhan belajarnya,
hasil belajarnya, kemampuan intelektual, partisipasinya dalam belajar
yang-menurut pengamatan beliau menjadikan sekolah di Jerman dan Amerika Serikat
mampu menghasilkan rakyat yang beretos kerja tinggi, peduli mutu, dan gemar
belajar.
Gugatan
Hukum terhadap Kebijakan Ujian Nasional
Setelah
berbagai upaya untuk mengingatkan pemerintah bahwa kebijakan ujian nasional
bermasalah tidak mendapat tanggapan yang berarti, sejumlah warga negara
kemudian berkelompok dan mengajukan tuntutan hukum. Sebanyak 58 orang dengan
dipimpin oleh Kristiono melakukan gugugatan Citizen Law Suit tentang ujian
nasional ke pengadilan.
Tertanggal
21 Mei 2007 Pengadilan Negeri Jakarta Pusat telah memutuskan perkara gugatan
Citizen Law Suit tentang Ujian Nasional Nomor 228/Pdt.G/2006/PN.JKT.PST. Dalam
amar putusannya, hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang dipimpin Andriani
Nurdin, SH, MH memutuskan:
Mengabulkan gugatan
Subsidiair Para Penggugat;
Menyatakan
bahwa para tergugat, Presiden RI, Wakil Presiden RI, Menteri Pendidikan
Nasional dan Ketua Badan Standar Nasional Pendidikan telah lalai dalam
memberikan pemenuhan dan perlindungan Hak Asasi Manusia terhadap warga negaranya
yang menjadi korban Ujian Nasional (UN), khususnya pada hak atas pendidikan dan
hak-hak anak;
- Memerintahkan kepada Para Tergugat untuk meningkatkan kualitas guru, kelengkapan sarana dan prasarana sekolah, akses informasi yang lengkap di seluruh daerah di Indonesia, sebelum mengeluarkan kebijakan Pelaksanaan Ujian Nasional lebih lanjut;
- Memerintahkan kepada Para Tergugat untuk mengambil langkah-langkah konkrit untuk mengatasi gangguan psikologis dan mental peserta didik dalam usia anak akibat penyelenggaraan Ujian Nasional;
- Memerintahkan kepada Para Tergugat untuk meninjau kembali Sistem Pendidikan Nasional;
- Menghukum Para Tergugat untuk membayar biaya perkara yang hingga kini berjumlah Rp. 374.000,- (Tiga ratus tujuh puluh empat ribu rupiah).
Atas
putusan tersebut para tergugat (pemerintah) mengajukan banding. Pada tanggal 6
Desember 2007 Pengadilan Tinggi Jakarta melalui Putusan Nomor
377/PDT/2007/PT.DKI menguatkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Selanjutnya para tergugat mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. Tanggal 14
September 2009melalui putusan nomor 2596K/PDT/2009/MA menolak permohonan kasasi
yang diajukan pemerintah.
Sungguh
sangat disayangkan, pemerintah nampaknya buta dan tidak menghormati putusan
lembaga-lembaga hukum tersebut. Ujian Nasional tetap jalan. Dan
tuntutan-tuntutan gugatan tidak dilaksanakan. Padahal lembaga-lembaga hukum
tersebut adalah lembaga yang dibentuk oleh negara secara sah. Sangat tidak
patut pemerintah yang mengesahkan pendirian lembaga-lembaga hukum tersebut ternyata
tidak mentaati hukum yang diterapkan.
Tim
Advokasi Korban Ujian Nasional (TeKUN) selaku kuasa hukum dari para penggugat
bersama Education Forum juga mengajukan permasalahan ujian nasional ini ke
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). Senada dengan para penggugat, KPAI
memandang bahwa kebijakan ujian nasional bermasalah. Setelah pada tahun 2008
KPAI melakukan kajian secara intens yang melibatkan banyak pihak di berbagai
bidang ilmu diperoleh kesimpulan bahwa Ujian Nasional bertentangan dengan perspektif
perlindungan anak yang dilihat dari empat hal:
1.
Ujian nasional sangat diskriminatif
karena kondisi siswa dan sekolah yang sangat berbeda/beragam karena faktor
geografis, budaya, dan sosial ekonominya. Tetapi anak-anak diperlakukan dan
dituntut untuk mencapai target yang sama.
2.
Ujian nasional lebih menekankan kepada
kepentingan politik pemerintah daripada kepentingan anak. Seharusnya yang
diutamakan adalah menjalankan proses pendidikan ramah anak, akses yang mudah,
sarana dan prasarana pendidikan yang memadai, dan guru-guru yang berkualitas.
3.
Ujian nasional mengganggu tumbuh kembang
anak karena di dalam persiapannya ada proses yang tidak wajar bahkan tidak
manusiawi, dengan penuh tekanan, menciptakan suasana khawatir dan takut, serta
ancaman kekerasan.
4.
Ujian nasional tidak menghargai
partisipasi anak karena sementara anak mengalami tekanan kejiwaan, menteri,
bupati, kepala dinas pendidikan, dan kepala sekolah bergembira dengan
angka-angka kelulusan. Selayaknya anak dihargai dan didengar pendapatnya.
Selain
itu Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) juga mengeluarkan
rekomendasi terkait kebijakan ujian nasional. Komnas HAM mendesak kepada
Presiden, Mendiknas, dan Ketua BSNP untuk melakukan:
a.
Peninjauan ulang terhadap sistem
pendidikan nasional;
b.
Revisi Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun
2005 tentang Standar Nasional Pendidikan dengan menghapus pasal 72 yang
menyebutkan UN sebagai syarat kelulusan;
c.
Meninjau ulang atau menghentikan
Pelaksanaan Ujian Nasional Tahun 2010;
d.
Mematuhi Putusan hukum Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat Nomor : 228/Pdt.G/2006/PN.JKT.PST yang diperkuat dengan Putusan
Pengadilan Tinggi DKI Nomor : 377/K/PDT/2007/PT.DKI dan Putusan Mahkamah Agung
RI Nomor : 2596K/PDT/2009.
Pernyataan-pernyataan
dari KPAI dan Komnas HAM, terlebih keputusan Pengadilan seharusnya menjadi
cambuk bagi pemerintah terhadap kebijakan ujian nasional. Sangat disesalkan
bahwa pemerintah tidak pernah menghiraukan saran dan kritik-kritik tersebut.
Posisi
Pemerintah dalam Pendidikan
Prof.
Dr. S. hamid Hasan, M.A. meyatakan bahwa selain sebagai penyelenggara
pendidikan, pemerintah memiliki dua peran dalam menjaga mutu pendidikan
nasional, yaitu sebagai selektor dan sebagai penjamin mutu. Berikut ini akan
dibahas kedua peran tersebut.
1. Peran sebagai selektor
Peran
ini dilakukan dengan cara menyelenggarakan satu proses seleksi untuk menentukan
apakah seseorang telah memenuhi kualitas seperti yang diinginkan. Ujian
nasional menjalankan peran ini dalam pendidikan. Dengan peran ini pemerintah
membagi siswa didik dalam dua kelompok besar, yaitu siswa yang lulus sehingga
dinyatakan berkualitas serta siswa yang tidak lulus sehingga dinyatakan tidak
berkualitas. Denagn peran ini ujian nasional merusak rasa keadilan masyarakat.
Karena pada dasarnya kegagalan siswa didik dikarenakan kelalaian pemerintah
dalam memberikan hak atas pendidikan yang berkualitas. Ujian nasional telah
melanggar prinsip “fairness” dalam hal evaluasi karena ujian yang sama
dilakukan terhadap siswa dengan kondisi pendidikan yang tidak sama. Tentu saja
tidak bisa disamakan antara sekolah di wilayah Indonesia Barat khususnya di
pulau Jawa dengan sekolah-sekolah di wilayah Indonesia Timur. Sehingga ujian
nasional pada dasarnya menghukum siswa yang kebetulan sekolah di sekolah yang
kondisinya belum memenuhi standar.
2. Peran sebagai penjamin mutu
Dengan
peran ini maka pemerintah bertanggung jawab untuk menghasilkan warga negara
yang memiliki kualitas minimal yang ditetapkan. Dengan peran ini pemerintah
mengembangkan pelayanan pendidikan yang mendukung berkembangnya potensi peserta
didik secara optimal. Pemerintah mengawasi sekolah-sekolah dan lembaga
pendidikan untuk menjamin kualitas pendidikan sebagai hak peserta didik.
Berdasarkan peran ini maka ujian nasional digunakan untuk melakukan pemetaan terhadap
pelayanan sekolah. Sekolah-sekolah yang kualitasnya di bawah standar
selanjutnya dipelajari faktor-faktor penyebabnya. Jika kelemahan pelayanan
disebabkan karena fasilitas fisik maka diperbaikilah fasilitas fisik tersebut.
Jika kelemahan terjadi karena kemampuan guru yang rendah maka dilakukanlah
serangkaian program pelatihan dan penyegaran bagi guru.
Posisi
kedua tersebut, yaitu sebagai penjamin mutu banyak dianut oleh negara-negara
yang hasil pendidikannya baik di dunia. Jepang dan Korea Selatan melakukan tes
nasional, bukan ujian nasional, yang dilaksanakan pada saat anak berusia 12 dan
15 tahun untuk mengetahui kualitas hasil belajar dan memperbaiki pelayanan
pendidikan, bukan untuk menentukan kelulusan peserta didik. Keberhasilan
peserta didik dari satuan pendidikan di kedua negara tersebut ditentukan oleh
“teacher assessment”.
Hampir
semua negara di Eropa kecuali Hungaria, Swiss, dan Kanada melakukan ujian
negara untuk peserta didik yang akan melanjutkan pendidikan ke SMA. Ujian ini
bukan untuk menentukan kelulusan peserta didik dari SMP tetapi dipersyaratkan
untuk mengetahui kemampuan yang telah dimilikinya untuk selanjutnya ditentukan
apakah melanjutkan ke sekolah umum atau sekolah kejuruan. Sementara Hungaria,
Swiss, Kanada, dan juga Australia melakukan ujian nasional pada peserta didik
usia 18 atau 19 tahun sebagai persyaratan masuk ke perguruan tinggi dan
digunakan untuk menjamin kualitas pelayanan pendidikan.
Kesimpulan
Kajian
Setelah
mempelajari dan mengkaji dengan cermat permasalahan kebijakan ujian nasional
dicapailah satu kesimpulan bahwa kebijakan ujian nasional memang bermasalah.
Ujian nasional pada dasarnya bertentangan dengan hakekat, fungsi, dan tujuan
pendidikan nasional seperti yang tertuang dalam UU Sisdiknas No. 29 tahun 2003.
Apalagi secara konstitusional landasan kebijakan ujian nasional lontradiktif
dengan UU Sisdiknas. Ujian nasional bahkan tidak mempengaruhi peningkatan
kualitas pendidikan malah semakin mengkerdilkan pendidikan menjadi sebatas
persiapan lulus ujian. Ujian nasional tidak mendukung terciptanya suasana
pembelajaran yang mampu mendorong peserta didik secara aktif mengembangkan
dirinya. Labih jauh KPAI dan Komnas HAM juga telah menyatakan bahwa ujian
nasional tidak ramah anak dan mendesak dihentikannya kebijakan tersebut.
Apalagi diperkuat dengan keputusan Pengadilan sebagai lembaga hukum yang
menyatakan bahwa pemerintah dengan kebijakan ujian nasionalnya telah lalai
dalam pemenuhan dan perlindungan HAM.
Oleh
karena itu kami Badan Eksekutif Mahasiswa UNJ menyatakan sikap “Menolak
Kebijakan Ujian Nasional sebagai Penentu Kelulusan.”
Rekomendasi
Dengan semangat untuk
memperbaiki pendidikan Indonesia agar tercapai misi dan cita-cita negara untuk
mencerdaskan kehidupan bangsa, kami Badan Eksekutif Mahasiswa UNJ memberikan
beberapa point rekomendasi:
Pemerintah menjalankan
dan memenuhi tuntutan sesuai keputusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat;
Pemerintah merevisi PP
No. 19 tahun 2005 pasal 68 dengan menghapus butir (c) dan pasal 72 ayat (1)
dengan menghapus butir (d);
Pemerintah menghentikan
kebijakan ujian nasional sebagai salah satu syarat kelulusan siswa dari satuan
pendidikan yang sedang ditempuhnya;
Pemerintah
memprioritaskan pemenuhan terhadap ketujuh standar nasional pendidikan yaitu
isi, proses, sarana prasarana, pembiayaan, pengelolaan, penilaian, serta
pendidik dan tenaga kependidikan. Apabila ketujuh stnadar ini telah terpenuhi
maka dengan sendirinya standar kompetensi lulusan akan tercapai;
Pemerintah menghentikan
UASBN untuk siswa SD karena wajib belajar lamanya 9 tahun maka siswa SD harus
secara otomatis naik ke SMP;
Pemerintah menyerahkan
evaluasi hasil belajar peserta didik sepenuhnya kepada pendidik;
Pemerintah
mengembangkan satu sistem evaluasi yang terus menerus, obyektif, dan
komprehensif;
Pemerintah memposisikan
dirinya dalam perannya sebagai penjamin mutu pendidikan bukan sebagai selektor.
Referensi
Soedijarto. 2008.
Landasan dan Arah Pendidikan Nasional Kita. Jakarta: Kompas
Education Forum. 2007.
Menggugat Ujian Nasional. Teraju
Soedijarto. Ujian Nasional
Pada Hakekatnya Tidak Sesuai Dengan Hakekat, Tujuan, Dan Prinsip
Penyelenggaraan Sistem Pendidikan Nasional Yang Dirancang Untuk Mencerdaskan
Kehidupan Bangsa Dan Memajukan Peradaban Bangsa. Makalah disajikan dalam
“Rountable Discussion” yang diselenggarakan oleh Lembaga Ketahanan Nasional,
Jakarta 18 Februari 2010
Soedijarto. Kedudukan
Sitem Pendidikan Nasional Menurut Undang-Undang Dari 1945 Dan Kebijaksanaan
Pelaksanaannya Dari Masa Ke Masa. Makalh disajikan dalam “Seminar Nasional,
Telaah Kritis Falsafah Pendidikan Kreatif” yang diselenggarakan Lembaga Kajian
Mahasiswa Expo 2009 di UNJ 8 Desember 2009
Soedijarto. Landasan
Dan Arah Pendidikan Nasional Indonesia (Hasil Sebuah Renungan Analitik).
Makalah disajikan dalam Seminar Nasional “Telaah Kritis pelaksanaan Pendidikan
Nasional” diselenggarakan di Jakarta 7 April 2011 oleh Forum Mahasiswa
Pascasarjana UNJ
Suparman. Catatan
Perjalanan Gugatan Masyarakat Terhadap Kebijakan Ujian Nasional. Makalah
disajikan pada Diskusi Publik Awal Tahun 2011 yang diselenggarakan oleh
Education Watch BEM UNJ, Jumat 8 Januari 2010 di UNJ
Johny Nelson
Simanjuntak. Perkara Ujian Nasional Dan Isuus HAM. Makalah disajikan pada
Diskusi Publik Awal Tahun 2011 yang diselenggarakan oleh Education Watch BEM
UNJ, Jumat 8 Januari 2010 di UNJ
Hadi Supeno. Ujian
Nasional dalam Perspektif Perlindungan Anak. Makalh disajikan untuk bahan
Diskusi Publik seputar “Penolakan kasasi Pemerintah oleh Mahkamah Agung dalam
Kasus Gugatan Ujian Nasional” di LBH Jakarta, Selasa 1 Desember 2009
Pers Release Lembaga
Bantuan Hukum Jakarta. Mengabaikan Putusan Mahkamah Agung Tentang Ujian
Nasional Yang Telah Berkekuatan Hukum Tetap Berarti Melakukan Pembangkangan
Hukum. Jakarta, 30 November 2009
Siaran Pers Tim
Advokasi Korban Ujian Nasional. Pernyataan Humas MA Terkait Putusan Ujian
Nasional Adalah Tafsir Pribadi Dan Keluar Dari Substansi Gugatan Serta Amar
Putusan. Jakarta 1 Desember 2009
Pers Release Tim
Advokasi Korban Ujian Nasional dan Education Forum. Gugatan ujian Nasional
Kembali Dimenangkan Oleh Mahkamah Agung, Permohonan Kasasi Pemerintah Ditolak.
Jakarta 25 November 2009
S. Hamid Hasan. Ujian
nasional Dan Masa Depan Bangsa: Ditinjau Dari Aspek Legal, Posisi Pemerintah,
Pandangan Pendidikan. [ONLINE] diunduh dari http://file.upi.edu/ tanggal 27
April 2011
Indonesia Peringkat 10
besar Terbawah Dari 65 Negara Peserta PISA. [ONLINE] diunduh dari http://
edukasi.kompasiana.com pada tanggal 27 April 2011
Tanya Jawab Pelaksanaan
Ujian Nasional 2011. Ebook diunduh dari http://kemdiknas.go.id/
Human Development
Report 2009. Ebook diunduh dari http://oecd.org/
Ikhtisar Data
Pendidikan Nasional Tahun 2007/2008. Ebook diunduh dari
http://www.depdiknas.go.id/
Undang-Undang No. 20
Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
Peraturan Pemerintah
No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan
* Penulis adalah Mahasiswa
Pendidikan Matematika FMIPA 2007 | Ka. Div Kajian Departemen Pendidikan BEM UNJ
2011
0 komentar:
Posting Komentar