UN : Ujian yang salah, dan menyalahkan
Posted by Ahmad Khairudin on April 17, 2013 with 1 comment
Oleh : Ahmad Khairudin *
Ujian Nasional (UN) masih jadi
perbincangan hangat dan menarik, padahal sudah banyak yang menolak, menentang
bahkan menggugat agar UN ini tidak lagi diselengarakan. Hakikat sebuah Ujian yang
saya baca dari beberapa literatur buku menjelaskan bahwa Ujian adalah cara untuk
memastikan sejauh mana seorang peserta didik
menguasai materi pelajaran yg diajarkan Dengan mencapai skor tertentu, seorang
siswa dapat dianggap sudah cukup menguasai standard minimal pelajaran, dan
boleh dianggap lulus.
Tapi yang menjadi pertanyaannya dalam
hati mengenai sistem pendidikan Indonesia adalah apakah keberhasilan seorang
peserta didik dalam pelajaran dan proses pembelajaran hanya dilihat dan di
nilai dari beberapa mata pelajaran yang di UN kan saja, lalu bagaimana dengan
kecerdasan yang lain, proses Kegiatan belajar mengajar (KBM) dan prestasi siswa
di bidang lainnya
Siswa akan
tetap di anggap gagal sekolah walaupun juara melukis tingkat internasional.
apapun prestasi yang pernah peserta didik itu raih tetap tidak akan bisa
menyelamatkan dirinya bahaya UN. karena peserta didik di anggap berhasil
pembelajaranya dari setumpukan kertas rapot dan pengumuman UN, bukan dari
banyaknya karya ataupun piala. situasi inilah yang memaksa peserta didik untuk tidak berkarya dan hanya fokus terhadap
pengerjaan soal.
Ujian Nasional hanya akan menjadi Ujian yang salah karena
tidak melihat dari beberapa penilian penting potensi peserta didik dan akan menyalahkan
seorang peserta didik anak bodoh jika tidak lulus ujian nasional.
(MA)salah UN
Dunia pendidikan Indonesia kembali menjadi sorotan.
Kementerian Pendidikan dinilai gagal menyelenggarakan ujian nasional secara
serentak. Masalah utamanya, pencetakan dan distribusi soal ujian tidak tuntas
sampai batas waktu pelaksanaan ujian. Satu pertanyaannya adalah apakah menyelenggarakan
Ujian Nasional serentak dan bobot soal seragam di negara dengang 17 ribu pulau
itu realistik?
Kita bisa melihat berita yang berkembang selama
penyelenggaran UN, Sebanyak 11 provinsi harus menunda UN hanya gara-gara urusan
teknis pencetakan soal. Tentu saja, penundaan tersebut menambah catatan buram
tentang penyelenggaraan UN selama ini. Mulai dari perkara soal yang bocor,
siswa menyontek, guru yang bekerja sama dengan muridnya untuk melakukan
kecurangan, ataupun tentang UN yang dianggap tidak adil. Kasus seperti ini
tidak sepatutnya terjadi. Pasalnya, anggaran dan waktu pelaksanaan telah
ditetapkan jauh hari sebelumnya. Lagi pula, UN adalah rutinitas tahunan yang
menjadi program andalan pemerintah dalam mengevaluasi tingkat keberhasilan
kegiatan belajar mengajar (KBM).
Ujian Nasional (UN) memang dari dulu hingga kini
akan selalu menjadi momok yang mengerikan bagi siswa, guru, kepala sekolah, dan
orang tua. Proses UN membuat siswa melakukan hal-hal di luar akal sehat. Pergi
ke dukun, maaf-maafan, pergi ke kuburan orang pintar dan lain-lain. Bukankah
ini justru malah merusak tauhid dan akhlak siswa? Pendidikan karakter yang
digembor-gemborkan seolah tertutupi dengan tetap diadakannya UN.Ini bukan kali
pertama kemendikbud menjadi sorotan publik. Sejak beberapa tahun terakhir,
banyak pihak yang telah menyampaikan kritik dan penolakan terhadap UN. Namun,
kemendikbud tetap bersikukuh untuk mempermanenkan penyelenggaraan UN.
Apalagi, penyelenggaraan UN saat ini juga sudah
lemah secara hukum. Pada 2009, misalnya, masyarakat melalui citizen lawsuit
pernah melayangkan gugatan ke Mahkamah Agung (MA) atas pelaksanaan UN. MA
mengabulkan gugatan itu dan memerintahkan UN dihentikan sampai pemerintah
memperbaiki pelaksanaannya di lapangan. (Media Indonesia, 15/4) Gugatan
masyarakat itu beralasan kerena UN selama ini dianggap mendatangkan banyak persoalan.
Ø Pertama, UN membuat beban siswa semakin berat. Masa
sekolah yang seharusnya digunakan untuk 'bermain' berubah menjadi masa yang
penuh tekanan dan depresi. Secara psikologis, model pembelajaran yang terlalu
serius dan penuh tekanan tidaklah sehat. Bahkan, akan membawa siswa stres di
usia dini.
Ø Kedua, UN juga dianggap tidak adil, khususnya bagi
sekolahan-sekolahan yang ada di daerah. Sebab, logikanya, jika fasilitas
pendidikan antara di sekolah perkotaan dengan perdesaan berbeda, kenapa standar
nilai kelulusan mesti disamakan? Bukankah siswa di kota akan lebih unggul
dibandingkan siswa di pedesaan karena guru mereka lebih kapabel dan
fasilitasnya lebih memadai? Logika-logika seperti inilah yang selalu menjadi
polemik ketika musim UN tiba.
Ø Ketiga, UN
telah membuat sistem pendidikan kita berorientasi kepada hasil, bukan proses.
UN telah menciptakan sistem pendidikan yang lebih menekankan nilai kelulusan
ketimbang kecerdasan rasio, kejujuran, dan kerja keras. Sebagai dampaknya,
banyak para siswa kemudian bersikap irasional dalam menanggapi UN, seperti
datang ke makam-makam dan melakukan ritual-ritual tertentu agar bisa
mendapatkan nilai bagus saat UN.
Ø Keempat, UN telah mendatangkan 'kecurangan
berjamaah' yang dilakukan secara sistematis oleh siswa berkerja sama dengan
gurunya. Dengan alasan menjaga nama baik almamater, tak jarang guru melakukan
berbagai cara untuk membuat para siswanya bisa lulus dalam UN, termasuk
menyuruh siswa paling pintar untuk membagi jawaban kepada teman-temannya.
Fenomena ini tentu menampar kredibilitas lembaga pendidikan. Sebab, lembaga
pendidikan yang seharusnya mendidik anak menjadi orang yang jujur dan mau
mengikuti proses, berubah menjadi tempat 'pembohongan' dan mengubah mental anak
bersikap instan.
Masalah
UN harusnya sudah bisa diselesaikan tapi sayangnya pemerintah kurang serius
menghadapi permasalahan pendidikan di negri ini.
Salah dan Menyalahkan
Ironisnya, hal itu mendapat
dukungan dari pejabat daerah untuk mendongkrak citra daerahnya. Sehingga,
ketika menjumpai ketidakjujuran dalam UN, pemerintah daerah setempat seolah
pura-pura tidak tahu. Hal ini tentu menyedihkan sekaligus sangat bertentangan
dengan amanat penyelenggaraan pendidikan, yang oleh pedagog Jerman, FW Foerster
(1869-1966) dimaksudkan, untuk membentuk karakter pribadi anak didik.
Dengan kata lain, jika pendidikan diselenggarakan
dengan cara-cara curang, karakter anak didik yang terbentuk sejak dini - dan
akan dibawa sampai dewasa kelak - akan curang (buruk) pula. Dengan demikian,
selain mendatangkan banyak ketidakjujuran dalam penyelenggaraan, UN juga sangat
berpotensi membentuk karakter anak lebih mengagumi nilai-nilai statistik
daripada nilai akhlak-moral. Sebagai dampaknya, jika pendidikan hanya
difungsikan sekadar untuk mengejar angka-angka, maka generasi Indonesia ke
depan adalah orang-orang yang lebih menghargai hasil daripada proses. Ini tentu
sangat berbahaya, maka sudah seharusnya kita menolak UN dan memikirkan cara dan
langkah terbaik untuk evaluasi sistem pendidikan nasional.
*Penulis
adalah Mahasiswa Pendidikan Teknik Elektronika Fakultas Teknik Universitas Negeri
Jakarta ’09 | Wakil Kepala Departemen Pendidikan BEM Universitas Negeri Jakarta
| @A_khairudin |
| ahamdkhairudin5.blogspot.com |
Sumber Gambar : http://kartunmartono.files.wordpress.com
:) kritis analitis...kalau ditinjau dari sudut pandang ilmiah dan berbagai aspek perkembangan juga ksimpulannya tetap tidak tepat sistem evaluasi pendidikan seperti ini, evaluasi harian saja yang berupa multiple choice itu bisa dibilang belum tepat apalagi UN. saran buat udin dan teman2 yang memang mau fokus terhadap perbaikan sistem pendididikan di Indonesia, sok atuh maju terus, sekolah yang tinggi, ambil magister di Indonesia atau di luar negeri jurusan riset dan evaluasi pendidikan biar bisa jadi bagian BNSP dsb, atau di luar negeri.. :)meskipun sebenarnya untuk memperbaiki sistem tidak perlu berambisi cari eksistensi dengan ambil bagian dalam lembaga pemerintah, tapi itu bisa jadi jalan
BalasHapus